[CERPEN] Ketika Dia Pergi
aku terus menerus melototi arloji di tanganku, sesekali aku membuang muka dengan menyapu semua pemandangan yang ada. Mendung, jalanan basah dan kulihat dari jendela mobil, gedung tinggi, seperti gedung sekolah biasa, tapi jika kulihat lebih dalam lagi tampaknya lebih besar ketimbang sekolah. Di samping gerbang, terdapat dinding bertuliskan Universitas Negeri Semarang yang terpampang jelas, walaupun terlihat dalam radius 200 meter. Di depan univ itulah aku bertengger di dalam mobil bersama seorang supirku yang bernama Pak Udin, sedang menunggu kedatangan seseorang. Siapa lagi kalau bukan kakakku.
Dia bernama kak Erul, lengkapnya
Chaerul Fuadi. Dia kakakku yang sekarang menjadi seorang mahasiswa, dan
sebentar lagi ia akan melaksanakan wisuda. Saat ini, aku sedang menunggu
kepulangannya dari Yogyakarta selama tiga hari tiga malam, yang membuatku tidak
bisa tidur karena terus memikirkannya. Teringat, ketika sewaktu kecil aku
bahkan menangis sejadi-jadinya ketika ia menginap di rumah temannya selama
semalam. Jika mengingat itu, aku tersenyam senyum sendiri, betapa aku
merindukannya. Bagiku, dia bagaikan malaikat tanpa sayap jika aku memikirkan
kebaikan hatinya, kasih sayang yang ia tumpahkan padaku meskipun kami tidak
sedarah. Kata Ummi, Kak Erul diangkat dari panti asuhan sebelum aku lahir.
Tapi, bagiku itu tidak menjadi halangan untukku membalas semua kasih sayangnya
padaku, yang saat ini kuketahui bahwa dia adalah Kakak yang dikirimkan Allah
untukku dan semuanya.
“Mbak… mbak?” Pak Udin memanggilku,
tapi aku masih tidak bergeming dan memberinya respon.
“Mbak? Mbak Firda, itu mas Erul udah
turun dari bis.. mbak nggak mau menyambutnya?” ketika itu, aku mendengar nama
Erul disebutkan sontak saja aku langsung membuka pintu mobil. Di dalam mobil,
Pak Udin hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
aku segera menutup mobil dan segera
menyapu pandangan mencari Kak Erul. Aku menyipitkan mata dan didapati pemuda
jangkung yang dicatinya itu, sedang menurunkan barang dan tertawa bersama
teman-temannya. Dengan reflek, aku berlari menghampirinya.
“Kak ERULL!!!” teriakku dengan mata
berbinar-binar dan segera berlari secepat mungkin untuk memeluknya.
“Firda?” dia juga tidak kalah
senangnya ketika didapati adiknya sudah mendekapnya. Ia hanya tersenyum dan
mengelus kepalaku.
“Apakah kau merindukanku?” dia
berhenti mengelusku..
“Tentu saja, kau tahu? Tiga hari itu,
menurutku tiga minggu.. rasanya lama sekali, aku begitu merindukanmu..” aku
erat memeluknya, seolah mencegah dia pergi.
“Hehe,,, aku juga meridukanmu sangat
merindukanmu, Firdauza Fajrihan.. tapi, mungkin ada yang cemburu saat ini?” aku
tersentak. Eh, ada yang cemburu.
“Siapa?” aku melepaskan pelukan.
“Itu…” dengan tersenyum, Kak Erul
menunjuk seorang perempuan berkerudung merah hati sedang menatapku dengan tersenyum.
Wah, dia cantik sekali.. pantas saja Kak Erul menyukainya, apalagi dia baik.
Untung saja, dia sudah di ta’aruf (Di lamar) oleh Kak Erul, kalau tidak dia
pasti sudah disambar laki-laki lain..
“Tenang saja Kak Aya—dia bernama
Fiki Hayati, dipanggilnya Kak Aya—aku juga merindukanmu kokk…” aku mendekapnya.
Kak Aya beruntung sekali mendapatkan Kak Erul.
“Hmm… Kak Erulmu bohong, aku sama
sekali tidak merindukanmu…” aku melepaskan pelukan. Setelah itu, kami tertawa
mendengar celotehnya.
“Ah.. iya..—aku menatap tajam Kak
Erul—karena aku sudah menunggumu sekian lama, bayar aku dengan traktiran buka
puasa gratis tiss.. okkeh?”
“tidak usah, kita buka puasa bareng
di rumah aja, pasti lebih seru.. lagian kakak juga udah beli oleh-oleh..”
Sebenarnya aku agak kecewa sihh..
tapi, apa mau dikata, makan bersama orang yang dicintai lebih enak..
Dengan perasaan bahagia, aku, Kak
Erul dan Kak Aya pergi menuju rumah untuk berbuka puasa.
***
Waktu bergulir cepat, tak terasa
hari sudah malam. Kami sudah melewatkan waktu yang berharga dengan buka puasa
dan Shalat tarawih bersama-sama. Aku terdiam sambil menikmati angin malam di
balkon depan kamarku. Tiba-tiba…
DORR….
“Hayoo.. lagi mikirin siapa yah?
Pacar? Hehe…” ternyata Kak Erul dari tadi, sudah ada di belakangku.
“Pacar apaan sih? Kak Erul sendiri
yang nglarang aku pacaran, mana mungkin aku punya pacar…” aku mengalihkan
pandangan ke taman di depan rumah.
“Hehe… maaf, soalnya bisa jadi dalam
waktu tiga hari, diam diam Firda udah punya pacar…” katanya terkikik.
“Hwe.. mana mungkin ada laki-laki
yang mau pacaran dengan tampang yang jelek begini..”
“Eh, jangan begitu…--tiba-tiba air
muka kak Erul jadi serius—syukuri aja apa yang ada, jangan mengeluh karena kita
jelek… say Alhamdulilah dan bersyukur for everything…”
Aku
terdiam mendengarnya. Benar, aku harus bersyukur meskipun aku jelek atau apapun
itu, aku terlalu banyak mengeluh kepada Allah.
“Yang penting, disini—dia menunjuk
dada—cantik…, laki-laki yang baik, pasti akan melihatnya dari hati..” pasti..
dan pasti, aku selalu takdim dengan semua perkataannya. Jika ia sudah berbicara
tentang dunia akhirat, dia dengan sabar menasihatiku. Aku bahkan tidak
membantahnya sedikitpun, karena ia adalah sumber kekuatan dan ilmuku dalam
menjalani hidup dan beribadah pada Allah.
Dan, di atas balkon di depan kamarku
inilah, kami selalu berkeluh kesah tentang hari-hari yang kami jalani disaat
malam. Aku sudah terbiasa seperti ini, mendengar curhat tentang Kak Erul, dan
Kak Erul juga tak lupa mendengar curhatku. Dibandingkan Kak Erul, aku paling
banyak curhat dan menangis entah apapun itu masalah yang ku hadapi. Itu seperti
ritual yang selalu kami jalani, bersama-sama di atas balkon sambil menikmati
indahnya malam.
“Ohya…, Firda mau ikut tidak, besok
ada pengajian santunan anak yatim, lho… Firda mau ikut?” katanya memecah
keheningan.
“santunan anak yatim? Eum.. boleh
juga.. tapi, aku masih bingung, kenapa Kak Erul tidak disantunin..” kataku
sambil memiringkan kepala.
“eh,, hehe.. kan Kak Erul udah
gede.. masa disantunin sih.. terus juga,
Kak Erul sudah dikatakan mampu, kan.. santunan itu, untuk anak yatim yang tidak
mampu..”
Aku mengangguk ber-ooo mengerti.
“Ohya,, Kak Aya ikut tidak?”
“tidak, dia masih sibuk menyiapkan
skripsinya, besok hari senin mau dikumpulin..”
“ah.. begitu yah.. padahal aku ingin
sekali bertemu dengan Kak Aya lagi…”
“Iya.. Kakak aja udah kangen
berpisah dengannya beberapa jam lalu..” katanya sambil tertawa.
“Ye,,. Ciyee.. ekhem… aku bilang ah,
sama Kak Aya..” aku segera menyambar ponsel di sampingku.
“Eh,, jangan ganggu dia.. jam segini
dia udah tidur.—dia memegang pagar batas—kalo dipikir, aku sangat beruntung
mendapatkannya…” dia tersenyum, aku segera menyambar..
“Eh, tapi, kalo menurutku… Kak Aya
lah, yang beruntung.. mendapatkan Kak Erul.”
“Lah kok?” matanya melotot..
“menurutku, Kak Aya beruntung,
karena akan mendapatkan seorang imam yang sholeh dan sholehah.. eh.. maksudku
sholeh doang…, Kak Erul amat menyayangiku, pasti Kak Erul juga amat mennyayangi
Kak Aya.., Kak Erul pasti jadi imam yang baik deh…” kataku mengacungkan
jempol..
“Tapi, aku seperti ini, karena
dialah yang mengajariku, dialah yang membuatku berubah sampai saat ini…”
“Tidak,,, Kak Erul, aku sudah
mengenal seperti apa Kakak ini, aku tumbuh bersamamu.. jadi, sebelum bertemu Kak
Aya, kakak masih sama..”
“Haha.. kau juga, sampai sebesar ini
pun kau masih sama…” dia mengelus rambutku dengan pelan
***
Setelah pengajian santunan anak
yatim selesai, aku masih terduduk sambil memandangi kakakku yang satu itu. Dia
masih sibuk melayani para anak kecil sambil bersenda gurau dengan mereka. Aku
hanya melihat dari kejauhan dengan terkagum-kagum saja. Setelah selesai, dia
segera menghampiriku..
“Firda, kalau kau lelah kau boleh
pulang dulu. Kakak mau latihan hadroh sebentar..”
“Eh? Ya udah deh.. gak papa.. aku
juga ingin ke rumah Kak Aya.. lagipula kan deket dari sini..”
“ooh.. ya udah.. ati-ati yak..”
katanya sambil menatapku berlalu menuju rumah Kak Aya.
Kenapa tiba-tiba aku ingin bertemu
Kak Aya yah? Tapi, aku hanya terheran-heran kenapa aku bisa menapakan kakiku
menuju rumah Kak Aya, tetap saja kaki ini melangkah ke rumahnya.
Hanya perlu beberapa menit, untuk
menuju ke rumahnya. Kutekan bel rumah, dan merapikan kerudungku. Beberapa
detik, ada seseorang yang membukakan.
“Assalamu’alaikum… apa Kak Aya ada
di dalam, Ummi?” kataku sambil tersenyum. Yang diberi senyum, nggak kalah
manisnya denganku.
“Wa’alaikum salam, ternyata Firda
yah… Kak Aya ada dalam kok.. mari masuk..”
Aku memasuki rumah yang besar, tapi
sederhana. Catnya berwarna pastel kalem. Aku hanya menyunggingkan bibir, dan
segera masuk ke kamar. Dengan sopan, aku membuka pintu kamar.
“Assalamualaikum… Kak Aya di dalam?”
Aku melongok ke dalam kamar. Aku terkaget, ketika ada yang menghampiriku..
“Eh,, Firda, ada apa? Hehe.. sini
masuk..”
“Gak ada apa-apa kok.. cuman mau
main kesini,..” aku melihat-lihat isi kamarnya, rapi cat kamar warnanya senada
dengan ruangan yang lain, ada beberapa foto terpajang. Yang kulihat, ada foto
saat aku dan Kak Erul mendaki Gunung Merapi, berdiri di samping tempat tidur.
“Sama siapa kesini? Kok gak
bilang-bilang…” katanya masih berkutat dengan laptopnya. Aku menghampirinya.
“Sama Kak Erul.. dia kan jadi
panitia buat santunan anak yatim.. jadi aku mampir kesini deh…” aku mengamati
isi laptopnya. Kulihat, ia sedang mencari-cari baju pengantin.
“Oh,, santunan yang itu yah?
Sebenernya, Kak Aya juga ingin kesana.. tapi berhubung skripsi belum jadi, ya
ditunda dulu deh…”
“Hum..—aku tersenyum—itu baju
pengantin yah?” kataku sambil menunjuk baju pengantin berwarna pastel, yang
pasti kesukaannya.
“Eh.. i..iya.. hehe, skripsinya baru
jadi.. jadi, cari waktu luang buat rehat..” kulihat, wajahnya memerah. Aku
tersenyum, kemudian membuang nafas yang sepertinya dapat dirasakan oleh Kak
Aya..
“Kenapa Fir?” tanyanya. aku mencari
tempat duduk, agar aku duduk di sebelahnya.
“Em.. sepertinya, kakakku itu sudah
besar yaah? Tinggal beberapa bulan lagi, dia akan menikah…” aah.. kenapa
ngomong begini sih? Dia pasti berfikir jika aku tidak bisa melepas Kak Erul.
“Eh,,, --dia tersenyum—iya,, kamu
juga udah besar kok Fir,” kurasa, dia mengerti perasaanku.
“Hehe.. iya, aku juga udah besar..
tapi aku tidak menyadarinya.. hum.. tapi,,”
“Tapi, Firda bakalan merindukannya
kan, setelah Kak Erul menikah denganku?—dia mengerti isi pikiranku—jangan
khawatir, kami akan sering-sering mengunjungi kalian semua kok…” aku
tersenyum.. memeluk lengannya.
“Tolong jaga dia ya, Kak Aya? Kalo,
dia nakal dengan Kak Aya, lapor aja kepadaku..”
“Haha.. baik fir, aku akan
menjaganya, aku akan menyayanginya seperti kau menyayangi Kak Erul..”
“Okkeh.. sip..—aku tersenyum lagi—ya
udah deh.. bicarain yang lain deh..” kataku sambil melepas tangannya.
Aku memanfaatkan waktu menunggu
berbuka dengan bermain-main dengan kak Aya. Rasanya puas sekali. Senang sekali,
karena dia akan segera jadi kakak iparku.
***
Tapi, kukira kebahagiaanku akan
berlanjut hingga pernikahan Kak Erul. Tapi, nyatanya tidak.. dia tiba-tiba jadi
aneh, ketika aku berbicara dengannya di balkon.
“Fir,…” katanya memecah keheningan
malam itu.
“Hem?”
“Kau tahu? Malaikat Izroil,
memandangi kita, menemui kita 70.000 kali sehari.” Aku kaget mendengarnya.
“Be..benarkah?”
“Iya… Kakak agak takut sendiri, jika
Kakak melakukan kesalahan, berbuat dosa.. dan, tiba-tiba saja jika ia
diperintahkan untuk mencabut nyawa kakak..” dengan wajah tenangnya, ia
berbicara seperti itu di depanku, yang merasa khawatir.
“Eh? Kok ngomong begitu sih kak?”
aku agak terpancing emosi.
“Fir… nyawa seseorang, itu nggak
bakalan abadi. Dia bakalan dicabut, tidak memandang usia, waktu dan tempat…”
aku menunduk, mulai menangis. Kenapa dia berbicara seperti itu, aku bahkan
khawatir ketika ia akan meninggalkanku hidup bersama Kak Aya, aku lebih
khawatir lagi ketika ia meninggalkanku dan Kak Aya serta semuanya untuk
selamanya. Tak terasa, air mataku menetes.
“Hei.. kenapa menangis?—dia
merangkul pundakku—sudah, sudah, kakak tidak menakut-nakutimu…” meskipun
begitu, air mataku keluar bertambah deras. Aku tidak menyangka, dia akan
berbicara seperti itu…
***
Keesokan harinya, hari Jumat yang
mendung, masih dalam bulan puasa yang sebentar lagi akan Idul Fithri. Dan lagi,
Kak Erul berbicara aneh dan tumben-tumbenan mengatakan hal ini..
“Firda…”
“Ada apa?” aku turun dari motor
bergegas menuju gerbang sekolah.
“Terima kasih, yah.. udah jadi adik
yang baik untuk Kakak.., ”
“Eh? Aku dari dulu baik kali, Cuma
kakak yang tidak menyadarinya..” aku tersenyum kecut.
“Ya sudah…, belajar yang baik
yaah..” katanya sambil menyalakan motornya, dan pergi dari sekolahanku..
Karena ucapan Kakak tadi pagi, aku
tidak konsen dalam belajar, dadaku begitu sesak.. tumben-tumbenan Kakak bilang
seperti itu. Sampai aku pulang pun, aku masih terheran-heran dan ada perasaan
aneh di pikiranku.
Sesampainya di rumah, aku segera ke
dalam kamar untuk membuang resahku.. tapi nyatanya…
“Firdaa.. kita jalan-jalan yuk… sore
ini lagi cerah nih…” disusul suara Ummi yang khas.
“Cerah gimana, abis ujan kok
cerah.., jangan pergi dulu deh..” aku membuka pintu kamar.
“Jalan-jalan kemana? Ikut deh..” aku
menerimanya, karena mungkin itu mengobati perasaan resahku..
“Firda, kenapa mau ikut sih? Masih
mendung tuh…”
“Ck, bolehlah Ummi,…” kata kami
serempak dengan mata dibuat seimut mungkin.
“Eh, ya sudah… tapi ati-ati yaah…” akhirnya
dia memperbolehkan kami. ketika kami akan berangkat tiba-tiba..
“Ummi, makasih ya, udah jadi Ummi
terbaik, udah didik Erul jadi besar gini…” lagi-lagi omongan aneh itu.. membuat
hatiku tak karuan deh.. kulihat, Ummi juga tidak karuan. Dia tidak memberi
jawaban apapun, dia menunduk, dan aku hanya mengikuti Kak Erul menuju motor
yang sudah menunggu.
Dalam perjalanan, aku mencoba
bertanya kenapa dia bertindak aneh, dari tadi sih?
“Em… a. ano.. tadi, kenapa Kak Erul
bilang begitu kepada Ummi? Dan, tadi pagi juga pernyataan sama kepadaku.?” Dia
terdiam.
“Eum.. gak kenapa-kenapa kok.. cuman
mau bilang aja, emang gak boleh..”
“Boleh aja siih..”
“Ohya.. Fir, tadi aku bertemu dengan
Aya.. dia kelihatan cantik banget hari ini..”
Eh?
Apa matanya baru sembuh dari rabun yah?
“Dari dulu, Kak Aya emang cantik
kan?” kataku heran..
“Ya sudah deh…”
Akhirnya, kami sampai di lapangan.
Rupanya, ia mau main sepak bola dengan temannya, aku agak khawatir dibuatnya..
tapi, dia cuman bilang, hanya lari-lari biasa kok.
Aku
semakin khawatir, ketika ia selalu tertunduk ketika main. Untung saja, timnya
menang banyak.. tapi, akhirnya kekhawatiranku membuahkan hasil.. dia berhasil
membuatku kaget setengah mati. Dari akhir pertandingan.. dia tiba-tiba
tersungkur.
Akhirnya, dengan wajahku yang pucat
dan bantuan teman-temannya kami sampai di rumah sakit meskipun dalam waktu yang
lama karena terjebak macet..
Ketika kami sudah membawanya ke
rumah sakit… hasilnya nihil. Allah sudah memperintahkan malaikat Izroil untuk
mencabut nyawanya. Setelah mendengar itu, aku hanya terkulai lemas dengan air
mata yang sangat deras. Tak kusangka, perasaan aneh itu membuahkan hasil.
Hasilnya, kini Kak Erul sudah tiada. Dia bilang kepadaku, bahwa aku adik yang
baik, Ummi adalah yang terbaik, dan Kak Aya paling cantik. Ternyata, dia sudah
mengatakan kata terakhir dengan lancar. Aku mendekati tubuh yang sudah tidak
ada ruh itu..
Kulihat,
wajah itu…. Wajah itu,, tersenyum.. aku terus menangis memandanginya. Aku tidak
bisa berbuat apa-apa untuk saat ini. Dia telah meninggalkanku, meninggalkan
kami semuanya. Semua kenangan bersamanya, hanya tinggal kenangan. Waktu
berbagiku bersamanya, telah berhenti untuk saat ini. Dia meninggalkan kami
bergitu cepat, begitu cepat… kurasa.. Kakak.. kaulah yang terbaik untuk kami
semua… semoga kau meninggal dengan khusnul khotimah…
end.. maaf kalo amburadull.. :v
1 komentar
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus