[CERPEN] Ketika Dia Pergi

by - 11/16/2015 11:48:00 PM

             




 aku terus menerus melototi arloji di tanganku, sesekali aku membuang muka dengan menyapu semua pemandangan yang ada. Mendung, jalanan basah dan kulihat dari jendela mobil, gedung tinggi, seperti gedung sekolah biasa, tapi jika kulihat lebih dalam lagi tampaknya lebih besar ketimbang sekolah. Di samping gerbang, terdapat dinding bertuliskan Universitas Negeri Semarang yang terpampang jelas, walaupun terlihat dalam radius 200 meter. Di depan univ itulah aku bertengger di dalam mobil bersama seorang supirku yang bernama Pak Udin, sedang menunggu kedatangan seseorang. Siapa lagi kalau bukan kakakku.
            Dia bernama kak Erul, lengkapnya Chaerul Fuadi. Dia kakakku yang sekarang menjadi seorang mahasiswa, dan sebentar lagi ia akan melaksanakan wisuda. Saat ini, aku sedang menunggu kepulangannya dari Yogyakarta selama tiga hari tiga malam, yang membuatku tidak bisa tidur karena terus memikirkannya. Teringat, ketika sewaktu kecil aku bahkan menangis sejadi-jadinya ketika ia menginap di rumah temannya selama semalam. Jika mengingat itu, aku tersenyam senyum sendiri, betapa aku merindukannya. Bagiku, dia bagaikan malaikat tanpa sayap jika aku memikirkan kebaikan hatinya, kasih sayang yang ia tumpahkan padaku meskipun kami tidak sedarah. Kata Ummi, Kak Erul diangkat dari panti asuhan sebelum aku lahir. Tapi, bagiku itu tidak menjadi halangan untukku membalas semua kasih sayangnya padaku, yang saat ini kuketahui bahwa dia adalah Kakak yang dikirimkan Allah untukku dan semuanya.
            “Mbak… mbak?” Pak Udin memanggilku, tapi aku masih tidak bergeming dan memberinya respon.
            “Mbak? Mbak Firda, itu mas Erul udah turun dari bis.. mbak nggak mau menyambutnya?” ketika itu, aku mendengar nama Erul disebutkan sontak saja aku langsung membuka pintu mobil. Di dalam mobil, Pak Udin hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
            aku segera menutup mobil dan segera menyapu pandangan mencari Kak Erul. Aku menyipitkan mata dan didapati pemuda jangkung yang dicatinya itu, sedang menurunkan barang dan tertawa bersama teman-temannya. Dengan reflek, aku berlari menghampirinya.
            “Kak ERULL!!!” teriakku dengan mata berbinar-binar dan segera berlari secepat mungkin untuk memeluknya.
            “Firda?” dia juga tidak kalah senangnya ketika didapati adiknya sudah mendekapnya. Ia hanya tersenyum dan mengelus kepalaku.
            “Apakah kau merindukanku?” dia berhenti mengelusku..
          “Tentu saja, kau tahu? Tiga hari itu, menurutku tiga minggu.. rasanya lama sekali, aku begitu merindukanmu..” aku erat memeluknya, seolah mencegah dia pergi.
            “Hehe,,, aku juga meridukanmu sangat merindukanmu, Firdauza Fajrihan.. tapi, mungkin ada yang cemburu saat ini?” aku tersentak. Eh, ada yang cemburu.
            “Siapa?” aku melepaskan pelukan.
            “Itu…” dengan tersenyum, Kak Erul menunjuk seorang perempuan berkerudung merah hati sedang menatapku dengan tersenyum. Wah, dia cantik sekali.. pantas saja Kak Erul menyukainya, apalagi dia baik. Untung saja, dia sudah di ta’aruf (Di lamar) oleh Kak Erul, kalau tidak dia pasti sudah disambar laki-laki lain..
            “Tenang saja Kak Aya—dia bernama Fiki Hayati, dipanggilnya Kak Aya—aku juga merindukanmu kokk…” aku mendekapnya. Kak Aya beruntung sekali mendapatkan Kak Erul.
            “Hmm… Kak Erulmu bohong, aku sama sekali tidak merindukanmu…” aku melepaskan pelukan. Setelah itu, kami tertawa mendengar celotehnya.
            “Ah.. iya..—aku menatap tajam Kak Erul—karena aku sudah menunggumu sekian lama, bayar aku dengan traktiran buka puasa gratis tiss.. okkeh?”
            “tidak usah, kita buka puasa bareng di rumah aja, pasti lebih seru.. lagian kakak juga udah beli oleh-oleh..”
            Sebenarnya aku agak kecewa sihh.. tapi, apa mau dikata, makan bersama orang yang dicintai lebih enak..
            Dengan perasaan bahagia, aku, Kak Erul dan Kak Aya pergi menuju rumah untuk berbuka puasa.
***
            Waktu bergulir cepat, tak terasa hari sudah malam. Kami sudah melewatkan waktu yang berharga dengan buka puasa dan Shalat tarawih bersama-sama. Aku terdiam sambil menikmati angin malam di balkon depan kamarku. Tiba-tiba…
DORR….
            “Hayoo.. lagi mikirin siapa yah? Pacar? Hehe…” ternyata Kak Erul dari tadi, sudah ada di belakangku.
            “Pacar apaan sih? Kak Erul sendiri yang nglarang aku pacaran, mana mungkin aku punya pacar…” aku mengalihkan pandangan ke taman di depan rumah.
            “Hehe… maaf, soalnya bisa jadi dalam waktu tiga hari, diam diam Firda udah punya pacar…” katanya terkikik.          
            “Hwe.. mana mungkin ada laki-laki yang mau pacaran dengan tampang yang jelek begini..”
            “Eh, jangan begitu…--tiba-tiba air muka kak Erul jadi serius—syukuri aja apa yang ada, jangan mengeluh karena kita jelek… say Alhamdulilah dan bersyukur for everything…”
Aku terdiam mendengarnya. Benar, aku harus bersyukur meskipun aku jelek atau apapun itu, aku terlalu banyak mengeluh kepada Allah.
            “Yang penting, disini—dia menunjuk dada—cantik…, laki-laki yang baik, pasti akan melihatnya dari hati..” pasti.. dan pasti, aku selalu takdim dengan semua perkataannya. Jika ia sudah berbicara tentang dunia akhirat, dia dengan sabar menasihatiku. Aku bahkan tidak membantahnya sedikitpun, karena ia adalah sumber kekuatan dan ilmuku dalam menjalani hidup dan beribadah pada Allah.
            Dan, di atas balkon di depan kamarku inilah, kami selalu berkeluh kesah tentang hari-hari yang kami jalani disaat malam. Aku sudah terbiasa seperti ini, mendengar curhat tentang Kak Erul, dan Kak Erul juga tak lupa mendengar curhatku. Dibandingkan Kak Erul, aku paling banyak curhat dan menangis entah apapun itu masalah yang ku hadapi. Itu seperti ritual yang selalu kami jalani, bersama-sama di atas balkon sambil menikmati indahnya malam.
            “Ohya…, Firda mau ikut tidak, besok ada pengajian santunan anak yatim, lho… Firda mau ikut?” katanya memecah keheningan.
            “santunan anak yatim? Eum.. boleh juga.. tapi, aku masih bingung, kenapa Kak Erul tidak disantunin..” kataku sambil memiringkan kepala.
            “eh,, hehe.. kan Kak Erul udah gede.. masa disantunin  sih.. terus juga, Kak Erul sudah dikatakan mampu, kan.. santunan itu, untuk anak yatim yang tidak mampu..”
            Aku mengangguk ber-ooo mengerti.
            “Ohya,, Kak Aya ikut tidak?”
            “tidak, dia masih sibuk menyiapkan skripsinya, besok hari senin mau dikumpulin..”
            “ah.. begitu yah.. padahal aku ingin sekali bertemu dengan Kak Aya lagi…”
            “Iya.. Kakak aja udah kangen berpisah dengannya beberapa jam lalu..” katanya sambil tertawa.
            “Ye,,. Ciyee.. ekhem… aku bilang ah, sama Kak Aya..” aku segera menyambar ponsel di sampingku.
            “Eh,, jangan ganggu dia.. jam segini dia udah tidur.—dia memegang pagar batas—kalo dipikir, aku sangat beruntung mendapatkannya…” dia tersenyum, aku segera menyambar..
            “Eh, tapi, kalo menurutku… Kak Aya lah, yang beruntung.. mendapatkan Kak Erul.”
            “Lah kok?” matanya melotot..
            “menurutku, Kak Aya beruntung, karena akan mendapatkan seorang imam yang sholeh dan sholehah.. eh.. maksudku sholeh doang…, Kak Erul amat menyayangiku, pasti Kak Erul juga amat mennyayangi Kak Aya.., Kak Erul pasti jadi imam yang baik deh…” kataku mengacungkan jempol..
            “Tapi, aku seperti ini, karena dialah yang mengajariku, dialah yang membuatku berubah sampai saat ini…”
            “Tidak,,, Kak Erul, aku sudah mengenal seperti apa Kakak ini, aku tumbuh bersamamu.. jadi, sebelum bertemu Kak Aya, kakak masih sama..”
            “Haha.. kau juga, sampai sebesar ini pun kau masih sama…” dia mengelus rambutku dengan pelan
***
            Setelah pengajian santunan anak yatim selesai, aku masih terduduk sambil memandangi kakakku yang satu itu. Dia masih sibuk melayani para anak kecil sambil bersenda gurau dengan mereka. Aku hanya melihat dari kejauhan dengan terkagum-kagum saja. Setelah selesai, dia segera menghampiriku..
            “Firda, kalau kau lelah kau boleh pulang dulu. Kakak mau latihan hadroh sebentar..”
            “Eh? Ya udah deh.. gak papa.. aku juga ingin ke rumah Kak Aya.. lagipula kan deket dari sini..”
            “ooh.. ya udah.. ati-ati yak..” katanya sambil menatapku berlalu menuju rumah Kak Aya.
            Kenapa tiba-tiba aku ingin bertemu Kak Aya yah? Tapi, aku hanya terheran-heran kenapa aku bisa menapakan kakiku menuju rumah Kak Aya, tetap saja kaki ini melangkah ke rumahnya.
            Hanya perlu beberapa menit, untuk menuju ke rumahnya. Kutekan bel rumah, dan merapikan kerudungku. Beberapa detik, ada seseorang yang membukakan.
            “Assalamu’alaikum… apa Kak Aya ada di dalam, Ummi?” kataku sambil tersenyum. Yang diberi senyum, nggak kalah manisnya denganku.
            “Wa’alaikum salam, ternyata Firda yah… Kak Aya ada dalam kok.. mari masuk..”
            Aku memasuki rumah yang besar, tapi sederhana. Catnya berwarna pastel kalem. Aku hanya menyunggingkan bibir, dan segera masuk ke kamar. Dengan sopan, aku membuka pintu kamar.
            “Assalamualaikum… Kak Aya di dalam?” Aku melongok ke dalam kamar. Aku terkaget, ketika ada yang menghampiriku..
            “Eh,, Firda, ada apa? Hehe.. sini masuk..”
            “Gak ada apa-apa kok.. cuman mau main kesini,..” aku melihat-lihat isi kamarnya, rapi cat kamar warnanya senada dengan ruangan yang lain, ada beberapa foto terpajang. Yang kulihat, ada foto saat aku dan Kak Erul mendaki Gunung Merapi, berdiri di samping tempat tidur.
            “Sama siapa kesini? Kok gak bilang-bilang…” katanya masih berkutat dengan laptopnya. Aku menghampirinya.
            “Sama Kak Erul.. dia kan jadi panitia buat santunan anak yatim.. jadi aku mampir kesini deh…” aku mengamati isi laptopnya. Kulihat, ia sedang mencari-cari baju pengantin.
            “Oh,, santunan yang itu yah? Sebenernya, Kak Aya juga ingin kesana.. tapi berhubung skripsi belum jadi, ya ditunda dulu deh…”
            “Hum..—aku tersenyum—itu baju pengantin yah?” kataku sambil menunjuk baju pengantin berwarna pastel, yang pasti kesukaannya.
            “Eh.. i..iya.. hehe, skripsinya baru jadi.. jadi, cari waktu luang buat rehat..” kulihat, wajahnya memerah. Aku tersenyum, kemudian membuang nafas yang sepertinya dapat dirasakan oleh Kak Aya..
            “Kenapa Fir?” tanyanya. aku mencari tempat duduk, agar aku duduk di sebelahnya.
            “Em.. sepertinya, kakakku itu sudah besar yaah? Tinggal beberapa bulan lagi, dia akan menikah…” aah.. kenapa ngomong begini sih? Dia pasti berfikir jika aku tidak bisa melepas Kak Erul.
            “Eh,,, --dia tersenyum—iya,, kamu juga udah besar kok Fir,” kurasa, dia mengerti perasaanku.
            “Hehe.. iya, aku juga udah besar.. tapi aku tidak menyadarinya.. hum.. tapi,,”
            “Tapi, Firda bakalan merindukannya kan, setelah Kak Erul menikah denganku?—dia mengerti isi pikiranku—jangan khawatir, kami akan sering-sering mengunjungi kalian semua kok…” aku tersenyum.. memeluk lengannya.
            “Tolong jaga dia ya, Kak Aya? Kalo, dia nakal dengan Kak Aya, lapor aja kepadaku..”
            “Haha.. baik fir, aku akan menjaganya, aku akan menyayanginya seperti kau menyayangi Kak Erul..”
            “Okkeh.. sip..—aku tersenyum lagi—ya udah deh.. bicarain yang lain deh..” kataku sambil melepas tangannya.
            Aku memanfaatkan waktu menunggu berbuka dengan bermain-main dengan kak Aya. Rasanya puas sekali. Senang sekali, karena dia akan segera jadi kakak iparku.
***
            Tapi, kukira kebahagiaanku akan berlanjut hingga pernikahan Kak Erul. Tapi, nyatanya tidak.. dia tiba-tiba jadi aneh, ketika aku berbicara dengannya di balkon.
            “Fir,…” katanya memecah keheningan malam itu.
            “Hem?”
            “Kau tahu? Malaikat Izroil, memandangi kita, menemui kita 70.000 kali sehari.” Aku kaget mendengarnya.
            “Be..benarkah?”
            “Iya… Kakak agak takut sendiri, jika Kakak melakukan kesalahan, berbuat dosa.. dan, tiba-tiba saja jika ia diperintahkan untuk mencabut nyawa kakak..” dengan wajah tenangnya, ia berbicara seperti itu di depanku, yang merasa khawatir.
            “Eh? Kok ngomong begitu sih kak?” aku agak terpancing emosi.
            “Fir… nyawa seseorang, itu nggak bakalan abadi. Dia bakalan dicabut, tidak memandang usia, waktu dan tempat…” aku menunduk, mulai menangis. Kenapa dia berbicara seperti itu, aku bahkan khawatir ketika ia akan meninggalkanku hidup bersama Kak Aya, aku lebih khawatir lagi ketika ia meninggalkanku dan Kak Aya serta semuanya untuk selamanya. Tak terasa, air mataku menetes.
            “Hei.. kenapa menangis?—dia merangkul pundakku—sudah, sudah, kakak tidak menakut-nakutimu…” meskipun begitu, air mataku keluar bertambah deras. Aku tidak menyangka, dia akan berbicara seperti itu…
***
            Keesokan harinya, hari Jumat yang mendung, masih dalam bulan puasa yang sebentar lagi akan Idul Fithri. Dan lagi, Kak Erul berbicara aneh dan tumben-tumbenan mengatakan hal ini..
            “Firda…”
            “Ada apa?” aku turun dari motor bergegas menuju gerbang sekolah.           
            “Terima kasih, yah.. udah jadi adik yang baik untuk Kakak.., ”
            “Eh? Aku dari dulu baik kali, Cuma kakak yang tidak menyadarinya..” aku tersenyum kecut.
            “Ya sudah…, belajar yang baik yaah..” katanya sambil menyalakan motornya, dan pergi dari sekolahanku..
            Karena ucapan Kakak tadi pagi, aku tidak konsen dalam belajar, dadaku begitu sesak.. tumben-tumbenan Kakak bilang seperti itu. Sampai aku pulang pun, aku masih terheran-heran dan ada perasaan aneh di pikiranku.
            Sesampainya di rumah, aku segera ke dalam kamar untuk membuang resahku.. tapi nyatanya…
            “Firdaa.. kita jalan-jalan yuk… sore ini lagi cerah nih…” disusul suara Ummi yang khas.
            “Cerah gimana, abis ujan kok cerah.., jangan pergi dulu deh..” aku membuka pintu kamar.
            “Jalan-jalan kemana? Ikut deh..” aku menerimanya, karena mungkin itu mengobati perasaan resahku..
            “Firda, kenapa mau ikut sih? Masih mendung tuh…”
            “Ck, bolehlah Ummi,…” kata kami serempak dengan mata dibuat seimut mungkin.
            “Eh, ya sudah… tapi ati-ati yaah…” akhirnya dia memperbolehkan kami. ketika kami akan berangkat tiba-tiba..
            “Ummi, makasih ya, udah jadi Ummi terbaik, udah didik Erul jadi besar gini…” lagi-lagi omongan aneh itu.. membuat hatiku tak karuan deh.. kulihat, Ummi juga tidak karuan. Dia tidak memberi jawaban apapun, dia menunduk, dan aku hanya mengikuti Kak Erul menuju motor yang sudah menunggu.
            Dalam perjalanan, aku mencoba bertanya kenapa dia bertindak aneh, dari tadi sih?
            “Em… a. ano.. tadi, kenapa Kak Erul bilang begitu kepada Ummi? Dan, tadi pagi juga pernyataan sama kepadaku.?” Dia terdiam.
            “Eum.. gak kenapa-kenapa kok.. cuman mau bilang aja, emang gak boleh..”
            “Boleh aja siih..”
            “Ohya.. Fir, tadi aku bertemu dengan Aya.. dia kelihatan cantik banget hari ini..”
Eh? Apa matanya baru sembuh dari rabun yah?
            “Dari dulu, Kak Aya emang cantik kan?” kataku heran..
            “Ya sudah deh…”
            Akhirnya, kami sampai di lapangan. Rupanya, ia mau main sepak bola dengan temannya, aku agak khawatir dibuatnya.. tapi, dia cuman bilang, hanya lari-lari biasa kok.
Aku semakin khawatir, ketika ia selalu tertunduk ketika main. Untung saja, timnya menang banyak.. tapi, akhirnya kekhawatiranku membuahkan hasil.. dia berhasil membuatku kaget setengah mati. Dari akhir pertandingan.. dia tiba-tiba tersungkur.
            Akhirnya, dengan wajahku yang pucat dan bantuan teman-temannya kami sampai di rumah sakit meskipun dalam waktu yang lama karena terjebak macet..
            Ketika kami sudah membawanya ke rumah sakit… hasilnya nihil. Allah sudah memperintahkan malaikat Izroil untuk mencabut nyawanya. Setelah mendengar itu, aku hanya terkulai lemas dengan air mata yang sangat deras. Tak kusangka, perasaan aneh itu membuahkan hasil. Hasilnya, kini Kak Erul sudah tiada. Dia bilang kepadaku, bahwa aku adik yang baik, Ummi adalah yang terbaik, dan Kak Aya paling cantik. Ternyata, dia sudah mengatakan kata terakhir dengan lancar. Aku mendekati tubuh yang sudah tidak ada ruh itu..

Kulihat, wajah itu…. Wajah itu,, tersenyum.. aku terus menangis memandanginya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini. Dia telah meninggalkanku, meninggalkan kami semuanya. Semua kenangan bersamanya, hanya tinggal kenangan. Waktu berbagiku bersamanya, telah berhenti untuk saat ini. Dia meninggalkan kami bergitu cepat, begitu cepat… kurasa.. Kakak.. kaulah yang terbaik untuk kami semua… semoga kau meninggal dengan khusnul khotimah… 

end.. maaf kalo amburadull.. :v

You May Also Like

1 komentar